Ternyata terdapat banyak sekali jenis seni mendengar. Ada yang disebut  mendengar aktif, analitis, empatik, kritis, selektif, atentif,  apresiatif, sampai dengan reflektif. Semua jenis mendengar ini seolah  mengigatkan kita bahwa setiap orang sejatinya ingin didengar. Sayangnya,  masih banyak individu, bahkan profesional korporasi, yang belum  menyadari bahwa keterampilan yang satu ini akan meninggikan citra diri  dan profit secara permanen dan militan jika dilakukan dengan penuh  ketulusan dan keseriusan. 
Keterlibatan Emosi 
Mari kita lihat, bagaimana seorang professional call-center,  baik yang bertugas di udara maupun di darat, masih berdebat dengan  pelanggan atau pencari informasi dengan kata-kata sarkastis, emosional,  merendahkan, sampai dengan menghina. Betapa pelanggan dihadapkan pada  situasi terpidana sebagai pengisi pundi korporasi yang seharusnya  membangun citra positif emiten di lantai bursa. Bercermin dari kejadian  itu, terlihat ada persoalan serius dalam hal mendengarkan. Teori yang  relatif pas untuk kasus ini adalah "reflective listening".  
Teori ini bermula dari praktik konseling dan psikoterapi yang dilakukan Carl Rogers terhadap pasiennya. Reflective Listening adalah sebuah tindakan mengulang secara verbal apa yang didengar dari orang lain.  Mengulang apa yang diucapkan dan dirasakan oleh pihak lain akan  menunjukan rasa empati terhadap apa yang dialami oleh sang penutur.  Kalimat yang di-rephrase tersebut akan mengubah subjek "saya"  menjadi "kita", artinya, ketika seorang menyampaikan keluh kesahnya  secara subjektif, teknik reflective listening akan mengubahnya  menjadi keluhan bersama, yaitu keluhan "kita". Dalam situasi ini, sang  pengeluh akan merasa bahwa dia tidak sendirian dalam menghadapi  peristiwa tidak menyenangkan tersebut.  
 
 
Ada empat kompenen yang menjadi syarat minimal dalam melakukan Reflective Listening: empathy, acceptance, congruence, dan concreteness.
Pertama, empathy (empati)  mewajibkan pendengar untuk memfokuskan diri pada pemberi keluhan yang  tengah menumpahkan saran, kritik, ataupun masukan atas apa yang  dialaminya. Di sini, referensiyang dipakai harus bingkai orang yang  tengah menyampaikan keluhan. Dengan demikian, kondisi "merasakan" apa  yang dialami orang lain akan membuat sang pengeluh mendapatkan sebuah  penghiburan. Ternyata ia, dipahami. Hal ini sangat penting, terutama  dalam menangani pelanggan yang sedang marah atas sebuah produk atau  pelayanan yang tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Jika rasa empati  dikedepankan secara simpatik, niscaya, luapan lahar emosi akan menjadi  salju penyejuk di musim panas. 
 
 
Kedua, acceptance (penerimaan) sangat terkait erat dengan empati. Penerimaan ini memberikan penghargaan kepada setiap orang bahwa mereka sesungguhnya berharga. Artinya, siapa pun yang menyampaikan keluhan atau sejenisnya harus diterima secara empatik dan simpatik. Keliru apabila dalam praktik korporasi, banyak petugas di garda depan mengabaikan hal ini hanya karena melihat penampilan sang pengeluh/pencari informasi yang tidak sesuai dengan standar yang biasa dihadapi. Jika ini terjadi, konsep penerimaan di sini menjadi sebuah teori kosong belaka. Sang pencari informasi akan kecewa dan akhirnya pindah ke lain hati (baca: korporasi lain). Ingat, di kening setiap orang sesungguhnya terpatri sebuah kalimat "make me feel important".
Ketiga, congruence (harmoni) di sini menunjuk  pada ketulusan dan pengertian atas apa yang terjadi pada orang lain.  Artinya, kita juga merasa kecewa atas apa yang dialami oleh orang yang  mengeluh. Tunjukan melalui bahasa nonverbal. Bahasa tubuh ini harus  secara tulus diekspresikan, bukan dibuat-buat. Melalui praktek harmoni  ini (sinkronasasi verbal dan nonverbal), ikatan emosional akan semakin  kuat terpatri dalam ruang afeksi sehingga pindah ke lain hati akan  menjadi pertimbangan dengan urutan terbawah. 
Keempat, concreteness (kekonkretan). Poin ini  mengacu pada hal-hal yang lebih bersifat spesifik daripada generik.  Sebagian pendengar, tanpa sadar atau ketidaktahuan, sering memberikan  komentar atas keluhan atau ungkapan orang lain secara generik tanpa  menyentuh ke inti keluhan. Misalnya, ketika ada orang yang mengeluh soal  pelayanan call-center yang tidak baik, sering petugas di garda  depan mengatakan bahwa hal itu tengah ditangani oleh perusahaan dan  memerlukan waktu yang tidak dapat ditentukan kapan selesainya. Ini  adalah contoh ketiadaan kekonkretan seperti dimaksud di atas.  
Lalu, bagaimana mengatasi hal tersebut? Seharusnya, sang petugas  melokalisir persoalan secara fokus. Ia seharusnya mengatakan bahwa call-center  mengalami gangguan selama 2-3 hari kerja dan akan bisa diatasi dalam  1-2 hari ke depan. Ia mengonkretkan persoalan secara tepat (call-center  saja) bukan korporasi secara umum yang terlalu rumit meski hanya untuk  dibayangkan. Dengan melokalisir persoalan secara sempit dan spesifik,  rasanya persoalan akan lebih mudah menemui solusi. 
Jika setiap pendengar memiliki empat orientasi minimal dalam Reflective Listening di atas (emphaty, acceptance, congruence, concreteness)  rasanya berjuta keluhan di kolom-kolom surat pembaca media massa selama  ini akan mengalami masa surut secara kuantitatif maupun kualitatif.  Semoga saja begitu! 
Posted in : My Story






 







